Tetesan Langit.
Yang pertama untuk hujan. Aku tidak tahu, mengapa aku begitu membencimu. Ya, aku tahu ketika aku membencimu, itu artinya aku membenci yang menciptakanmu. Apakah aku mengerti? Hmm. Langit tak mengerti. Tuhan Maha Mengerti. Tidak, aku tidak mengerti. Walaupun setiap ribuan tetesannya membasahi raga ini, aku tidak akan mengerti. Huh, apakah aku harus bertanya pada angin? Apakah mereka juga mengerti? Sudahlah, bukan salah hujan ketika aku membencinya. Aku terlalu kekanakkan. Menutup sebelah mata dengan seikat rumput benalu. Yang kedua untuk langit. Semakin sering aku menatap langit, semakin aku tidak mengerti. Lenyap jemari 'tuk berkata. Senyap mulut 'tuk berbicara. Sama seperti hujan, aku tidak mengerti. Aku ingin mengirim surat pada langit, berbagi hari - hariku dengan hujan. Agar aku semakin mengerti. Keras, lembut hujan menerpaku tanpa permisi memanggilku dengan rintihan yang turun dan aku masih sama. Tidak mengerti. Langit hanya diam? Atau langit memang diam? Tapi, ...