Dilla Berbeda dengan Aku, Ayah dan Semua Orang
Disabilitas?
Cacat? Dilla, dalam kacamataku dia sangat hebat. Dilla adalah temanku. Salah
satu kenangan masa kecil yang takkan kulupa. Dilla seorang tunagrahita. Dilla
seorang penyandang cacat mental. Dulu, hampir setiap hari aku bertemu dengannya
karena rumahku dekat dengan Sekolah Luar Biasa. Kebetulan Dilla sekolah disana
dan ayahku menjabat sebagai pengajar di sekolah itu.Aku
tahu Dilla punya kekurangan. Walaupun begitu, Dilla selalu mengerti apa yang ku
katakan. Dilla tidak bodoh.
“Ris,
sini!” aku mengintip dari balik jendela. Salah satu murid ayahku memanggil
seseorang, maksudnya adalah aku. Dengan langkah gugup aku keluar rumah menghampiri
murid ayahku, Dilla. Dilla sedang menunggu neneknya yang sudah menjadi
kebiasaan menjemputnya. Hari itu pukul 14.00, seorang nenek perkasa belum
tampak juga. Aku tersenyum tipis padanya
dan dengan susah payah ia tersenyum juga. Aku melihat perjuangannya untuk
sekadar menyunggingkan bibir tipisnya. Aku terpaku pada satu sisi diujung
bibirnya yang terus mengeluarkan ludah dengan sendirinya, dan sesekali ia
mengusap dengan sapu tangan yang ia kalungkan di leher.
“Belum
dijemput ya Dill?” tanyaku untuk basa – basi. Dilla mengangguk pelan.
“Aku…
udah hafal kupu – kupu… yang kemarin.” kata Dilla terbata. Bibir tipisnya
tersenyum, sembari sesekali mengusap ujung bibirnya dengan sapu tangan.
“Ayo
nyanyi.” aku menarik pelan tangannya. Aku berputar dihadapannya sambil
mendendangkan sebait lirik lagu favoritku.
“Kupu
– kupu yang lucu
Kemana
engkau terbangHilir
mudik mencariBunga
– bunga yang kembangBerayun
–ayun pada tangkai yang lemahTidakkah
sayapmuMerasa lelah… “ Dilla
mengikutiku berputar dan bernyanyi. Kami menghabiskan sore itu dengan bernyanyi
dan menari tak peduli dengan orang yang berlalu lalang.
“Dilla,
itu nenekmu!” seruku tiba – tiba melihat dari kejauhan seseorang mengendarai
sepeda tuanya. Dengan girang Dilla lari mendekati neneknya dan melambaikan
tangan sekilas padaku. Entah kenapa, sore itu aku senang sekali.
Hari
Rabu, seperti biasa aku pulang sekolah pukul 12.40. Sekolahku cukup dekat,
sehingga jalan kaki saja sudah cukup. Aku melihat Dilla duduk di sebuah bangku,
diam dan memandangiku. Entah kenapa aku tak acuh siang itu. Terlintas dibenakku
kata – kata Dira tadi di sekolah.
“Ihh
kamu main sama orang gila ya..” Aku tersentak mendengar apa yang Dira katakan..
Dan saat itu juga, aku menyimpulkan bahwa Dilla gila. Aku takut dengan orang
gila, mereka aneh dan ya, Dilla aneh. Aku memutuskan untuk tidak lagi mendekati
Dilla, dia gila.
Seperti
biasa, aku mengintip Dilla dari balik jendela. Dilla menangis sesenggukan dan
membuang sapu tangannya. Hari ini tidak seperti biasanya, Dilla menangis dan
air matanya mencerminkan ketakutan yang mendalam. Terlihat jelas dari matanya
yang menatap ngeri ke segala arah. Aku lari masuk ke kamarku. Dilla memang
sering menangis jika belum dijemput. Tapi aku tak pernah melihat Dilla menangis
seperti itu. Itu artinya, Dilla benar – benar gila. Dilla orang gila. Aku tak
mau berteman dengan orang gila. Apa yang diketahui anak berumur 8 tahun waktu
itu? Aku belum paham apa yang aku katakan. Aku hanya tak mau Dira mengejekku
lagi.
Pukul
16.00, aku tak melihat Dilla duduk di bangku halaman kecil sekolahnya. Itu berarti
Dilla sudah dijemput, pikirku. Tapi tiba – tiba saja aku mendengar suara orang
menangis keras sekali. Apa itu Dilla? Dan benar, wajah Dilla basah oleh air
mata sapu tangannya entah ia buang kemana dan yang jelas dilla tampak
memprihatinkan sekali. Aku hanya diam saja melihatnya. Semua itu menguatkan
kata – kata Dira bahwa aku berteman dengan orang gila. Dilla orang gila.
Hanya
dengan beberapa kata, dengan mudah pikiranku teracuni oleh ejekan Dira. Beberapa
menit aku berpikir untuk meyakinkan diriku dan mataku tak kuasa melirik ke luar
jendela, Dilla tak ada di tempat tapi ia meninggalkan sapu tangannya. Aku
menghampiri ayahku yang tengah duduk di kursi ruang keluarga.
“Riris,
kamu nggak neminin Dilla ya, tadi kok Dilla nangis?” tanya ayah tiba – tiba.
Aku membisu.
“Yah,
Dilla kok kayak gitu sih?” belum menjawab pertanyaan ayahku, aku malah
bertanya.
“Kayak
gitu, maksudnya?” ayah tampak bingung. Aku memperagakan kebiasaan Dilla waktu
mengusap ujung bibirnya dengan sapu tangan. Ayah hanya tersenyum.
“Dilla
itu berbeda dari kita Ris. Tuhan memberikan anugerah yang luar biasa padanya.
Walaupun memang Dilla memiliki kekurangan. Kamu pasti sering mendengar kata
cacat kan?” aku mengangguk walaupun sebenarnya aku belum paham betul.
“Tapi
yah…”
“Ayah
belum selesai Ris, sabar dulu.” Aku kembali diam dan mendengarkan setiap kata
yang terlontar dari bibir ayah.
“Dilla
memiliki kekurangan dan kita juga memiliki kekurangan. Tapi, kekurangan Dilla
berbeda dengan kekurangan kita. Kekurangan Dilla namanya cacat mental. Dilla
harus mendapat perhatian khusus karena Dilla adalah seorang yang berkebutuhan
khusus. Kamu paham apa maksud ayah?” aku menggeleng pelan dan ayah tersenyum
simpul.
“Dilla
memang berbeda dari kita, tapi kita sama – sama makhluk Tuhan kan? Dilla punya
kelainan mental, maksudnya Tuhan menciptakan Dilla sebagai seorang yang
memiliki kebutuhan khusus. Dilla membutuhkan seorang pendamping khusus untuk
bernyanyi dan berhitung. Dilla tidak bisa berpikir cepat seperti kita yang
diberi tahu sekali langsung mengerti. Dilla butuh seseorang untuk membantunya
mengerti hidup.”
“Aku
paham ayah, Dilla berbeda dari kita tapi kita sama – sama menyembah Tuhan.
Dilla punya kelainan, Dilla membutuhkan pendamping khusus untuk bernyanyi.” aku
tersenyum melihat ayah tersenyum. Jadi, apa itu artinya Dilla tidak gila? Aku
rasa begitu.
Ayahku
memang hebat. Ayahku adalah pendamping teman – teman Dilla. Ayahku mengerti apa
yang mereka butuhkan. Mereka hanya butuh senyuman maka mereka akan mengerti.
Mereka juga butuh kebahagiaan. Ayahku bisa membuat mereka tertawa dan bahagia.
Ayahku mengerti betul apa yang mereka rasakan. Ayah tak pernah marah pada
mereka dan menyakiti hati mereka. Ayah menebar kebahagiaan dengan orang lain
walaupun mereka tak saling mengenal. Ayah adalah guru yang hebat untukku dan
mereka.
Kamis
yang cerah, dengan segera aku meraih tas punggungku dan berpamitan dengan ayah
dan ibu. Pagi itu aku harus ke sekolah lebih awal. Langkahku terhenti ketika
melihat sapu tangan Dilla. Dengan yakin aku memungutnya dan memasukkannya ke
dalam tasku. Entah apa yang membuatku bahagia pagi itu, tapi yang jelas aku
senang bahwa Dilla bukan orang gila melainkan dianugerahi sesuatu yang berbeda
dengan aku, ayah dan semua orang. Dilla hanya sedikit berbeda dan Dilla bukan
orang gila.
Sekarang,
aku sudah jarang bertemu Dilla. Tapi aku yakin Dilla sudah hafal lagu kupu –
kupu dan Dilla sudah dewasa. Terima kasih Dilla. Kau yang mengajariku untuk
tidak memandang orang lain dari fisiknya. Kau yang mengajariku untuk berteman
dengan siapapun yang ku mau. Kau yang mengajariku bahwa setiap orang berhak
memiliki dunia.
Komentar
Posting Komentar