Ibu dan Kucing

Sudah hampir satu tahun ini, ibuku memelihara hewan yang bernama kucing. Semuanya berawal ketika ada seekor kucing yang keadaannya sangat naas. Tubuhnya kurus sekali, ada sebagian tubuhnya yang tidak memiliki rambut, kaki – kakinya kecil, matanya sayu , pokoknya kasihan sekali ketika pertama kali melihat kucing itu tiba – tiba sudah terbaring di teras depan rumah. Hipotesis pertamaku, kucing malang itu baru saja diperkosa oleh kucing liar yang suka nongkrong di kuburan hingga sebagian rambutnya terjambak tapi ternyata hipotesisku salah, itu bukan kucing betina.
Hipotesisku yang kedua, kucing itu baru saja ditabrak topeng monyet hingga matanya sayu terkena asap kendaraan si monyet. Aku hampir lupa, monyet di sekitarku hanya suka minta uang, bukan nabrak kucing.
Hipotesisku yang terakhir, kucing malang itu baru saja kecemplung minyak tanah hingga kaki – kakinya menyusut menjadi kecil. Tidak, minyak tanah sudah susah dicari. Tak mungkin kucing itu kecemplung minyak tanah, kecuali si kucing datang langsung ke pengeboran minyak bumi. Mungkin seketika si kucing akan mati terpanggang di inti bumi. Hemm, aku menyerah dengan hipotesis – hipotesisku.
Kembali ke kucing. Aku selalu pura – pura tak melihat ada kucing telentang jelek di teras rumah. Tapi, akhirnya ibu melihat si kucing dan memberinya makan. Sejak saat itu, si kucing menjadi manja dan mengeong jika ia lapar. Ibu selalu mengerti dengan eongannya, tapi kenapa ibu tidak bisa mengerti aku? Cukup, itu drama sekali. Sejak kehadiran kucing itu dirumah, ibu menjadi seorang penyayang kucing. Setiap hari ibu selalu memberinya makan, tidak pernah absen seharipun. Hari berganti dengan hari, dan daun mulai berguguran menyentuh tanah yang basah, tubuh si kucing tidak lagi cungkring, perutnya melambai – lambai ketika ia berjalan, rambut – rambutnya sudah memenuhi tubuhnya dan kaki – kakinya tidak lagi kecil, matanya berbinar – binar namun tetap menunjukkan kepolosan seekor kucing. Akhirnya, ibuku berinisiatif untuk memberi nama kucing malang itu, “bundle” karena ekornya bundle. Bundle itu ekor yang tidak panjang, jadi ia cenderung pendek dan seperti ekor bekas amputasi.
Suatu hari, pernah kucing malang itu tidak datang ke rumah. Hari pertama, ibuku masih biasa saja mungkin ibu belum menyadari kucingnya tidak mengeong hari itu. Hari kedua ibu mulai bertanya – Tanya, dan aku pun menjadi korban pertanyaan ibu. “Kamu lihat bundle nggak? Hari ini kok nggak pulang.” Pulang?! What?! Jadi aku berbagi tempat tinggal dengan seekor kucing? Oh, aku tidak bisa membayangkan jika si kucing itu dibuatkan kamar khusus di suatu tempat di salah satu sudut rumah. Betapa kejamnya ibu, menyamakan kucing dengan seorang manusia. Hari ketiga si kucing belum juga mengeong. Dugaanku, si kucing sudah ditabrak container monyet dan sudah dimakamkan dengan layak karena si pengemudi takut kena sial. Ibu mnanyakan hal yang sama seperti hari kedua ketidakmunculan si kucing. Tapi yang berbeda adalah, ibu mulai gelisah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku yang tidak pulang, apakah ibu akan gelisah seperti ini? Tentu saja iya, aku kan anaknya.
Si kucing kembali. Di hari keempat, akhirnya ia kembali tapi ia memboyong korbannya. Ohh, bertambahlah kucing di rumah ini. Terlebih lagi, korbannya itu tengah hamil. Aku yakin, si kucing mencoba member perlindungan kepada korbannya untuk melahirkan anak dari darah dagingnya. Ibu tidak merespon apa – apa. raut wajahnya tidak sedih, tidak pula senang. Sungguh, aku tidak mengerti dengan ibu. Ibu hanya menambah porsi makan si kucing untuk dimakan berdua dengan korbannya. Itu saja.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu dan Utuh

Apa ini ya haha

Dilla Berbeda dengan Aku, Ayah dan Semua Orang